Minggu, 04 November 2007

Kota yang Menggoda

Mapalus 3 Agustus 2007

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa tahun 2007 ini Sulut mengkoleksi 250,1 ribu orang miskin. Jumlah itu adalah 11,42 persen dari total penduduk Sulut yang berjumlah 2.186.810 orang.

Menurut Jasa Bangung Kepala BPS Sulut, Drs Jasa Bangun jumlah orang miskin di Sulut justru naik, berbeda nasional yang justru mengalami penurunan. Jumlah penduduk miskin tahun ini bertambah 17,5 ribu dibanding tahun 2006 yang ‘hanya’ 232,6 ribu orang. Menurut Jasa Bangun, peningkatan orang miskin ini disebabkan karena banyaknya penduduk yang datang ke kota mencari pekerjaan. Buktinya katanya, angka kemiskinan tersebut lebih banyak dari daerah perkotaan, sementara di daerah pedesaan justru berkurang.

Jasa Bangun menambah-kan, besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis kemiskinan, karena penduduk miskin adalah yang memiliki pengeluaran rata-rata di bawah garis kemiskinan. Semakin tinggi garis kemiskinan, maka akan semakin banyak penduduk yang tergolong miskin. Penduduk miskin sendiri, kata Bangun, dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni miskin kronis (chronic poor) dan miskin sementara (tran-sient poor).

Mendengar jumlah orang miskin di negeri kaya ini sudah biasa. Tapi menariknya, di Sulut, juga barangkali terjadi di daerah lain, jumlah orang miskin justru yang banyak di daerah perkotaan. Urbanisasi mengakibatkan meledaknya penduduk kota. Kalau kita bicara daerah kita, ini kemudian mempertanyakan keberadaan mall-mall yang berdiri kokoh dan menjulang tinggi ke udara di Boulevard yang oleh pemerintah katanya dapat meraup tenaga kerja yang banyak. Angka statistik BPS membuktikan kalau itu tidak seratus persen benar.

Kota memang menggoda orang untuk melakukan perpindahan. Padahal, yang kaya sebenarnya bukan di kota, melainkan di desa. Di desa, sumber daya alamnya masih banyak, persaingan pun belum terlalu ketat, kecuali memang masih kurangnya perhatian pemerintah dalam memberdayakan segala yang apa ada di desa. Berbeda di desa, berekonomi di kota tidak lagi manusiawi. Ada kualitas ada uang. Ada uang ada lahan berbisnis. Persaingan di kota memang akhirnya menundukkan. Para PKL yang coba bertahan hidup, itu karena adanya persatuan di kalangan PKL.

Kota memang menggoda. Tapi lebih daripada itu ini sebenarnya sangat terkait dengan seperti apa orang memaknai kerja itu. Kerja pada akhirnya hanya seolah-olah kalau berseragam kantoran. Kalau memikul cangkul dan mengerjakan pekerjaan kerajinan tangan seolah-olah tidak lagi dianggap kerja. Ini soal etos kerja orang yang kebanyakan sudah bergeser. Kota dengan segala tawaran kegemerlapan hidupnya, akhirnya membuat orang menjadi lebih miskin daripada berkembang dan survive.

Padahal, harapan hidup sebenarnya lebih bisa diandalkan di desa dari pada kota. Cuma persoalannya, kita kemudian hampir kehabisan akal untuk mengolah segala sumber daya lahan, sawah dan hutan kita. Ini diperparah dengan kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak menyentuh sampai pada warga di pedesaaan. Berikut lagi ketidakadilan pembangunan adalah faktor penting yang membuat kondisi menjadi sulit begini.

Harapan hidup di desa akan selalu ada, kalau kita menemukan lagi etos kerja mapalus kita sebagai tou minahasa, kemudian pembangunan infrastruktur jalan, fasilitas pelayanan kesehatan yang menjangkau sampai ke pelosok dan terpenting lagi adalah gedung sekolah yang representatif yang didukung oleh kualitas tenaga pengajar yang baik. Persoalan utamanya adalah keadilan sosial yang harus dijamin oleh negara kepada rakyatnya....

Pilih Mana Minyak Tanah Atau Gas Elpiji?

Mapalus 23 Agustus 2007

Di Jakarta konversi minyak tanah ke gas elpiji menuai protes. Kemairn lebih dari 2.000 pengunjuk rasa berdemo di depan Istana Merdeka, Rabu (22/8), memprotes konversi minyak tanah ke gas elpiji. Para pengunjuk rasa yang tergabung dalam Forum Masyarakat Pengguna Minyak Tanah menolak konversi minyak tanah ke gas. Alasannya, harga gas lebih mahal dibandingkan dengan minyak tanah dan kondisi masyarakat yang masih jauh dari kesejahteraan.

Mereka menilai, alasan konversi minyak tanah ke gas adalah mengada-ada. Menurut mereka, itu adalah permainan ekonomi politik tingkat tinggi, yaitu para koruptor yang ada di pemerintahan dan para jajaran Pertamina yang inggin mengeruk kekayaan pribadi di atas penderitaan rakyat.

Kabarnya, setelah Jakarta, kebijakan ini akan kemudian dilanjutkan ke seluruh daerah, termasuk kita di Sulut. Jadi, kalau sekarang ini, pemakaian gas elpiji masih kalangan tertentu, ketika itu itu diterapkan di daerah kita, maka sampai ke pelosok kita bakal melihat kompor-kompor gas, bukan lagi kompor minyak tanah. Ya, ini memang akan terjadi, karena ketika minyak tanah di konversi ke gas elpiji, maka yang akan dijual umum adalah gas elpiji bukan lagi minyak tanah. Kalau sekarang meski kadang-kadang langkah atau harus mengantre, minyak tanah masih merupakan kebutuhan yang selalu diusahakan ada oleh pemerintah.

Meski diprotes, Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Persero Ari Sumarno mengatakan, program konversi bahan bakar minyak tanah ke gas elpiji akan terus dilanjutkan karena lebih murah dan efisien. Konversi juga membantu pemerintah dalam mengurangi beban subsidi yang amat besar.

Warga di daerah kita yangh sudah biasa menggunakan bahan bakar minyak tanah, juga banyak yang sedikit merasa was-was. Dari sisi ekonomis, masyarakat merasa sulit menggantikan Minyak tanah dengan gas dalam kemasan tabung. Sebab selain gas masih berharga lebih mahal dari minyak, ada juga yang menyoalkan fak-tor keamanan penggunaan gas.

Karena, gas elpiji kalau beli 3 kilo gram harganya Rp 15 ribu sementara pemakaiannya hanya untuk satu minggu. Kalau minyak tanah uang sebanyak itu bisa untuk dipakai dua minggu. Gas elpiji juga berbeda dengan minyak tanah yang bisa dibeli ecer satu liter atau dua liter sesuai dengan ketersedian keuangan. Jadi kalau ada keluarga miskin yang penghasilannya Rp. 20 ribu per hari, maka untuk membeli 3 kilogram gas elpiji, ia harus merelakan uang Rp. 15 ribunya. Sisa di tangan tinggal 5 ribu rupiah untuk satu liter beras tanpa makan ikan.

Pengamat ekonomi kemasyarakatan daerah ini, Jack Parera, secara gamblang mengatakan, dalam upaya sosialisasi penggunaan gas, pemerintah harus berani menjamin ke masyarakat bahwa penggunaannya benar-benar aman.

Pihak Pertamina Cabang Manado menjelaskan, penerapan konversi minyak tanah ke gas elpiji masih dalam tahap kajian.

Sementara itu, Karo Perekonomian Pemprov Sulut, Luther Liwoso SE mengatakan program pemerintah pusat sudah seharusnya diterapkan oleh setiap daerah. Alasannya, apa yang sudah diprogramkan pemerintah tersebut sudah diperhitungkan dengan secara matang akan resiko yang akan diambil.

Konversi minyak tanah ke gas elpiji, memang ada untung ruginya. Tapi, baginya rakyat barangkali yang terpenting bahwa mereka masih bisa dapat menjangkaunya. Minyak tanah memang sudah membikin pusing, tapi rakyat miskin masih dapat menjangkaunya. Gas elpiji, memang belum banyak dicoba orang kita. Tapi, apakah minyak tanah atau gas elpiji, yang terpenting sebenarnya bagaimana pemerintah berhasil meningkatkan daya be;li rakyay dengan kebijakan-kebijakan ekonominya yang berpihak kepada rakyat. Kalau begini keadaanya, barangkali rakyat masih akan memilih minyak tanah yang dapat dibeli ecer daripada gas elpiji. Bagaimana menurut anda, tetap minyak tanah atau beralih ke gas elpiji saja???.............

Politik Rakyat dalam Calon Independen

Mapalus Selasa 24 Juli 2007


Kini, Negara telah memberikan kesempatan yang besar bagi warga Indonesia untuk secara aktif dan langsung ikut dalam partisipasi politik. Sekarang ini, telah ada dasar hukum bagi semua warga yang tentu memenuhi syarat untuk ikut dalam pilkada tanpa melalui partai politik menyusul Senin kemairn Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) meloloskan pengajuan calon kepala daerah independen atau tidak melalui partai politik (Parpol).

Uji materi UU Pemda dimohonkan oleh anggota DPRD Kabupaten Lombok, Lalu Ranggalawe dengan kuasa hukum Suriahadi SH.

Pasal-pasal dalam UU Pemerintahan Daerah itu, menurut pemohon, melanggar hak konstitusional warga negara karena membatasi pencalonan kepala daerah secara independen atau yang tidak melalui partai politik.

Dalam putusannya, MK hanya mengabulkan sebagian dari seluruh pasal yang diajukan pemohon. "Mahkamah mengabulkan permohonan sebagian," kata Ketua MK, Prof DR Jimly Asshiddiqie SH.

Dalam putusan tersebut antara lain MK mengubah pasal 59 ayat (3) yang sebelumnya berbunyi "Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan".

Pasal tersebut diubah menjadi "Membuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 melalui mekanisme yang demokratis dan transparan".

Putusan pembatalan pasal-pasal itu salah satunya didasarkan pada fenomena calon independen dalam pilkada Nangroe Aceh Darussalam (NAD).

MK berpendapat, pemberlakuan pencalonan kepala daerah secara independen di NAD juga harus diberlakukan di daerah lain agar tidak terjadi dualisme hukum.

Calon independent dalam pilkada memang bukanlah akhir dari perjuangan demokrasi di Indonesia. Namun setidaknya dengan diperbolehkan calon independen dalam pemilihan kepala daerah, rakyat kemudian mendapat ruang untuk secara lebih leluasa untuk ikut secara aktif dalam memikirkan dan melakukan praktek politik. Anatara lain cirri dari sebuah demokrasi, ketika rakyat secara sadar ikut terlibat secara aktif dalam berpolitik.

Calon independent, memang bukan akhir, ia adalah awal untuk sebuah demokratisasi di Indonesia. Mestinya, proses bersamaan dengan itu adalah pendidikan politik yang baik bagi publik. Karena publik yang cerdas berpolitik, akan menghasilkan politik yang jujur, adil dan kerakyatan. Publik harus cerdas, karena ketika calon indepeden mulai dipraktekkan maka nantinya memang politik menjadi urusan rakyat, tidak lagi elitis. Karena demokrasi kan memang begitu, rakyatlah yang memegang kendali. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi dengan dikabulkannya calon independen dalam pilkada

RMS dan OPM, Pertanda Apa Ini?

Simpatisan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Abepura, Jayapura, mengibarkan bendera Bintang Kejora. Aksi itu untuk memperingati hari ulang tahun OPM yang jatuh pada hari ini, Minggu (1/7). Para pelaku pengibaran, kini, ditahan oleh petugas keamanan Lapas Abepura untuk dimintai pertanggung-jawaban.

Pengibaran bendera OPM dilakukan oleh narapidana politik (napol) maupun tahanan politik (tapol), di antaranya Yusak Pakage dan Filep Karma. Yusak dan Filep pernah pula mengibarkan bendera OPM pada 1 Desember 2005. Kali ini, keduanya mengibarkan bendera OPM di atas atap Lapas Abepura yang diikuti tapol dan napol lainnya. Namun, peristiwa tersebut tidak berlangsung lama. Aparat keamanan lapas segera memerintahkan penghentian pengibaran bendera///)

Sebelumnya pada Jumat akhir pecan lalu, Puluhan anggota RMS menyusup dengan berpura-pura sebagai penari dalam acara peringatan Hari Keluarga Nasional. Mereka sempat maju hingga jarak 10 meter dari tempat Presiden dengan membawa tombak yang menjadi perlengkapan tarian. Namun mereka gagal mengibarkan bendera RMS karena keburu diambil petugas. Peristiwa ini memang mengejutkan pemerintah kita. Betapa tidak ini bukan hanya menjadi pukulan berat bagi system keamanan, tapi tampilnya lagi kelompok RMS di depan public dan bahkan di depan Presiden SBY adalah bukti bahwa Indonesia masih berhadapan dengan kelompok-kelompok militant yang mempertanyakan kekuasaan Negara ini.

Kenapa harus ada RMS, OPM, bahkan dulu ada Gerakan Aceh Merdeka? Sejarah Indonesia memang marak dengan apa yang disebut oleh pemerintah sebagai gerakan separatis. Hampir semua Negara ada kelompok-kelompok semacam itu. Tapi dalam konteks Indonesia ini membuktikan bahwa model, system dan paradigma menjadi Indonesia belum tuntas. Nasionalisme pun yang selalu diwacanakan Negara dipertanyakan. Proses bernegara dan mengindonesia kita ternyata belum final. Letupan-letupan protes kelompok-kelompok semacam itu, barangkali adalah juga interupsi-interupsi terhadap model kekuasaan elit kita yang cenderung menjadi mutlak. Ini juga jadi tanda bahwa demokrasi di Indonesia belum benar-benar demokratis.

Perimbangan keuangan yang belum adil, serta pengelohaan sumber daya alam yang masih terpusat, politik yang masih sentralistik yang sehingga menyebabkan kemiskinan dan ketertinggalan, adalah sasaran dari protes-protes sekelompok orang daerah itu. Di Minahasa dulu, ada gerakan protes yang menggemparkan dunia, permesta! Tapi permesta hadir dengan kecerdasannya mempertanyakan model pemerintahan yang sentralisme. Yang mereka tuntut adalah hak untuk hidup sejahtera.

Barangkali, secara implicit gerakan-gerakan protes seperti OPM dan RMS yang masih hidup hingga sekarang, adalah juga tantangan buat pemerintah kita untuk lebih melihat Indonesia ini bukan hanya Jakarta, tapi wilayah territorial, dari sabang sampai merauke yang terdiri dari beribu-ribu karakter budaya, suku dan ras. Indonesia adalah keberagaman. Kalau itu dimatikan dengan model pemerintahan yang sentralistik, maka jadinya adalah konflik dan kekacauan. Mudah-mudahan, pemerintah kita segera sadar dengan keadaan yang mengancam ini

Koperasi, Masihkah untuk Rakyat?

Mapalus Senin 6 Agustus 2007

Idealisme koperasi awalnya sangat mulia sekali. Bahwa koperasi hadir untuk meningkatkan ekonomi rakyat dengan berasazkan asas kekeluargaan. Koperasi bertujuan untuk menyejahterakan anggotanya. Tetapi fenomena belakangan ini, koperasi seolah-olah tidak lagi mempunyai peranan yang penting untuk rakyat. Apakah ini karena koperasi telah takluk kalah pada sistem berekonomi yang kapitalis atau pemaknaan terhadap koperasi oleh pelakunya yang telah bergeser pada orientasi keuntungan pribadi demi kekuasaan. Jawaban untuk pertanyaan itu, yang lebih tahu pasti adalah rakyat.

Menteri Negara Koperasi dan UKM, Suryadharma Ali ketika hadir di daerah ini meminta para pembina di daerah memiliki komitmen yang dapat mendukung tercapainya sasaran pembangunan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) secara nasional.

Menurutnya, terdapat lima sasaran yang perlu diwujudkan melalui pembangunan KUKM, yaitu meningkatkan jumlah koperasi yang berkualitas sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi, meluasnya usaha kerja koperasi UKM dibidang agribisnis pedesaan dan penyediaan permodalannya, meningkatkan jumlah wira usaha baru berbasis ilmu pengetahuan dan tehnologi dengan pelatihan –pelatihan yang memadai.

Meningkatkan kapasitas usaha mikro khususnya kelompok masyarakat dipedesaan dan daerah tertinggal serta meningkatnya produktivitas dan nilai ekspor koperasi UKM dengan penyediaan pasar pameran dan misi dagang, katanya.

Dia mengatakan, meskipun dihadapkan dengan terbatasnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan anggaran, namun Kementerian Negara Kopersai dan UKM akan berupaya untuk memanfaatkan dana yang tersedia itu secara optimal.

Orientasinya adalah agar sebagaian besar anggaran itu lebih banyak diarahkan kedaerah khususnya melalui program dan kegiatan bantuan perkuatan KUKM dengan harapan dapat dirasakan secara langsung masyarakat oleh, ujarnya.

Terkait dengan pertemuan regional tersebut, dia mengatakan, agar dimanfaattkan sebaik-baiknya, dan dapat memberikan masukan-masukan bagi kemajuan Kopersai dan UKM.

Menurut UU No 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian Indonesia, koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Kemudian muncul definisi lebih baku oleh ICA yang mendefinisikan koperasi sebagai assosiasi yang bersifat otonom dengan keanggotaan bersifat terbuka dan sukarela untuk meningkatkan kebutuhan ekonomi, sosial dan kultur melalui usaha bersama saling membantu dan mengontrol usahanya secara demokratik.

Dari penjelasan pengertian diatas diharapkan koperasi bukan hanya menjadi slogan yang menawarkan konsep kebersamaan, gotong royong, kemandirian dan persamaan hak dan kewajiban saja melainkan koperasi mencoba untuk tumbuh dan berkembang dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan kemakmuran, kesejahteraan dan kehidupan yang layak secara adil.

Koperasi, seperti kata Menteri Koperasi Surya Darma Ali memang masih dijadikan unjung tombak untuk peningkatan perekonomian rakyat. Padahal, fakta sekarang, koperasi mulai dijadikan usaha pribadi, keluarga atau pejabat tertentu saja. Rakyat, dalam kerja koperasi hanya dijadikan objek, antara lainnya adalah untuk jualan politik demi mendapatkan kredit dari pemerintah yang kemudian banyak yang hanya masuk ke kantong petinggi koperasi yang satu dua orang saja. KUT, barangkali salah satu bukti, betapa koperasi tidak lagi untuk rakyat. Petani berdasi, banyak yang telah menggunakan koperasi untuk memperoleh keuntungan pribadi. Nama-nama pejabat pemerintahan, yang sebenarnya telah sejahtera, masih saja ada yang membuat kamuflase untuk mendapatkan kredit, yang sebenarnya sasaran utamanya adalah rakyat yang masih serbag berkekurangan.

Akhirnnya, kalau koperasi masih ingin eksis, mau tidak mau pemerintah kita harus jujur melakukan evaluasi terhadap keberadaan koperasi sekarang ini. Pemerintah kita harus jujur dan berani untuk mensterilkan koperasi dari usaha-usaha tidak benar dari elit untuk meraup keuntungan darinya. Koperasi harus kembali menjadikan rakyat sebagai subjek penyelenggaraan ekonomi rakyat melalui. Koperasi, jangan menjadi seperti renteiner yang hanya menghisap rakyat. Koperasi harus hadir dengan prinsip kekeluargaan, kebersamaan yang ujung-ujungnya hanya untuk membuat berdaya rakyat yang kebanyakan memprihatinkan hidupnya karena ketidakadilan struktur yang dibuat oleh negara sendiri. Mudah-mudahan jo kang

Asuransi untuk Anggota Dewan Kita

Mapalus Senin 9 Juli 2007

Semakin enak saja hidup ke 45 anggota legislator kita. Hasil kerja masih menjadi kontroversi di mata publik, eh, kesehatan dan jiwapun di asuransikan. Informasi langsung dari Sekretaris DPRD Sulut, Drs Max Raintung, bahwa benar CAR Asuransi tak hanya memberikan jaminan kesehatan kepada 45 legislator Sulut, tetapi termasuk jaminan jiwa. Ini dibuktikan dengan tercatatnya uang pertanggungan sebesar Rp 25 juta untuk masing-masing anggota DPRD Sulut.

Lembaga legislative kita penuh kontroversi. Kalau sebelumnya sempat ribut degnan adanya PP 37, dan juga persoalan regulasi yang hanya untuk mengatur diri para elit kita, di daerah kita lagi-lagi muncul kebijakan yang kemudian tidak langsung berfaedah bagi kesejahteraan rakyat. Hasilnya adalah kebijakan pemerintah yang kebanyakan hanya berputar-putar untuk diri sendiri. Pemerintahan kita seolah-olah menganut politik munafik. Wacana, dan pernyataan-pernyataan yang muncul di media, para elit dengan lantang berteriak bahwa kerja mereka adalah untuk rakyat, tapi yang terjadi ternyata itu semua hanya kamuflase politik. Ujung-ujungnya, yang terjadi ternyata kerja mereka adalah untuk mereka sendiri.

Regulasi yang hanya untuk meligitimasi penggunaan uang Negara bagi diri sendiri, seperti fasilitas mobil, rumah dinas, uang jalan-jalan, juga dana asuransi kesehatand an jiwa sangat kontras dengn fasilitas yang diberikan oleh Negara kepada rakyat kebanyakan di Negara terlebih khusus daerah ini. Lihat saja, kesehatan dan jiwa 45 anggota dewan provinsi kita mendapat jaminan asuransi, sementara jaminan kesehatan dan kesejahteraan bagi rakyatnya sangan memprihatinkan. Dewan paling gampang mencari kambing hitam soal harga cengkih yang dipermainakan gapri. Biaya sekolah mahal yang dipatok sejumlah lembaga pendidikan tak bisa dokontrol oleh para anggota dewan terhormat. Mereka juga tak mengawasi dengan baik sejumlah dana untuk rakyat miskin yang disalahgunakan oleh sejumlah oknum di diknas. Penolakan terhadap PT. MSM yang memang mengancam lingkungan hidup dan tatatan social, budaya daerah ini datangnya pertama bukan dari lembaga yang sebenarnya hadir untuk itu.

Inilah realitas politik kita. Kita tidak kemudian datang dengan pernyataan yang menuding siapa yang salah dan siapa yang serakah. Kita hanya bisa bertanya seperti apa keberadaan partai politik yang mestinya menghasilkan kader-kader terbaik dalam usaha memperjuangkan nasib rakyat. Kita kemudian juga mempertanyakan mental para wakil rakyat kita itu terkait dengan bagaimana mereka memaknai kekuasaan yang ada pada kursi jabatan mereka. Kalau ini semua jawabannya memberi penilaian merah, maka inilah sebab musabab kebuntuan politik kita. Kalau sudah begini rakyat harus bergerak. Caranya, perlu kita diskusikan

Mari Awasi Bantuan Untuk Orang Miskin

Mapalus Selasa 17 Juli 2007

Bantuan lewat Program Keluarga Harapan (PKH) ternyata tak sampai menyentuh warga miskin yang ada di Kabupaten Mitra. Tak pelak, sejumlah komponen warga pun menilai bahwa Dinsos Kabupaten Minsel, sebagai kabupaten induk, tak becus dalam kinerjanya.

Kecaman ini juga dikuman-dangkan warga karena Dinsos Minsel terkesan pilih kasih dan tak memperhatikan war-ga miskin di Kabupaten Mitra. Hal ini seperti ditegaskan Anton SF Tumimomor, salah seorang warga. Menurutnya, PKH hanya menyentuh lima kecamatan di wilayah Minsel dengan jumlah total penerima sebanyak 1.454 keluarga miskin.

Malah lebih memprihatinkan terhaji di Mitra. Di daerah baru itu tak satu keluarga miskin pun mendapat bantuan PKH ini. Karena itu ia menilai, Dinsos Minsel tak peka akan keinginan warga Mitra. Pasalnya, meski telah pisah dengan Kabupaten Minsel, namun ketika mengusulkan ke pemerintah pusat, enam kecamatan di Mitra masih masuk wilayah Minsel. Ini berarti terkesan Dinsos Minsel, pilih kasih dan tak becus menjalankan tugas karena hanya menggolkan lima kecamatan di Minsel saja.

Sudah banyak bantuan pemerintah yang memakai lebel untuk orang miskin. Semakin banyak bentuknya, semakin banyak pula persoalan yang muncul daripadanya. Kebanyakan persoalan yang muncul dalam bantuan-bantuan semacam itu adalah salah sasaran dan mark up dana oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Ini sunggu sangat memprihatinkan.

Apa yang terjadi di Minsel dan Mitra itu, barangkali juga terjadi di sejumlah wilayah lain. Mental korup karena sistem juga korup adalah persoalan mendasar Negara ini. Sudah banyak cara yang dilakukan, termasuk katanya, reformasi dan supremasi hokum. Tapi itu semua belum dapat mengatasi persoalan korupsi. Ini terjadi karena korupsi itu seolah-olah telah mengakar dan merakyat. Berantas satu tumbuh lain lagi yang lebih banyak.

Kita rakyat barangkali perlu merancang satu strategi agar bantuan-bantuan yang memang diperuntukan bagi rakyat di hanya singga di kantong-kantong besar milik para pejabat atau oknum-oknum yang rakus. Barangkali salah satunya, misalnya membuat jaringan pemantau yang independent bebas pengaruh atau intervensi dari pemerintah. Keanggotaannya adalah orang-orang yang lintas golongan dan punya track record yang bersih. Komunitas independent inilah yang kemudian mengawasi penyaluran dan peruntukan dana-dana bantuan dari pemerintah untuk rakyat.

Lebih daripada itu yang dilakukan adalah pendidikan, pembelajaran dan mentradisikan gaya hidup bersih yang tidak pertama-tama mengejar keuntungan banyak dari kerja sedikit atau apalagi mencuri kepunyaan orang lain.

Kondisi yang krisis kepemimpinan seperti ini, inisiatif dari rakyat menjadi sangat penting, Rakyatlah yang mestinya memelopori perubahan dengan power peoplenya. Harus ada gerakan masal, sehingga rakyat tak hanya dipakai sebagai lebel untuk ajang korupsi para elit dan oknum-oknum yang tak berhati nurani mencuri uang rakyat. Mudah-mudahan saja….

Kondisi Riil Rakyat dan Gaya Hidup Elite Kita

Mapalus 20 Agustus 2007

Di daerah kita ini, bencana terjadi secara beruntun. Habis banjir dan longsor dan di sejumlah wilayah di Mitra dan Minahasa, datang lagi letusan gunung Soputan di Minsel. Ratusan hektar lahan pertanian di kabarkan rusak akibat pasir dari gunung itu. Sekarang lagi, sekitar 500-an warga Pulau Siau, Kabupaten Sitaro, yang tersebar di sekitar kaki gunung api Karangetang, kembali mengungsi. Ini diakibatkan aktivitas Karangetang yang makin menjadi-jadi, sehingga statusnya sejak Sabtu (18/08) lalu langsung ditingkatkan dari waspada menjadi awas.

Di Mitra misalnya, sejumlah desa di Kecamatan Toluan, hingga Indonesia telah genap berusia 62 tahun kemerdekaannya, masih dalam keadaan memprihatinkan. Sumber daya alam sebenarnya melimpah, tapi karena insfratruktur jalan juga sarana kesehatan dan pendidikan tidak baik, mka kualitas hidup rakyat di desa-desa itu pun menjadi buruk. Di Indonesia dan lebih khusus di daerah kita ini, banyak warga yang semakin menderita hidupnya. Kemiskinan terus naik. Begitu juga dengan pengangguran. Pokoknya, kualitas hidup rakyat dalam keadaan menderita.

Tapi. Kalau kita hidup di dekat pusat pemerintahan kita akan mendengar setiap harinya bunyi raungan sirene dari mobil pejabat yang lewat kesana kemari. Mobil-mobil angkot milik rakyat harus minggir karena ada pejabat yang menumpang di mobil mewah akan lewat. Kita akan juga melihat rumah-rumah yang wah, milik para elit di legislatif maupun eksekutif. Fasilitas hidup mereka sangat terjamin. Jas dan senyum arogan dikembangkan dari bibir para pejabat itu. Mereka seolah-olah menjadi kaisar dan ratu di sebuah kerajaan. Rakyatnya harus tunduk dan memperlihatkan rasa hormat yang sangat. Kehidupan para elit memang sangat mengesankan.

Ini sangat kontras dengan kondisi riil rakyat, yang mereka jual waktu kampanye atau dalam bicara-bicara mereka di ruang publik. Kondisi kehidupan yang beda antara rakyat yang miskin dan elit yang kaya dan lengkap fasilitas hidupnya, memperlihatkan sebuah perbedaan yang mencolok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Para elit kita banyak yang telah hilang sense of crisis-nya. Mereka tidak punya kepekaan lagi pada kemiskinan, ketidakadilan dan keterbelakangan hidup rakyat. Perbedaan kualitas hidup antara rakyat dan elit di negara ini, seperti langit dan bumi, sangat mencolok sekali.

Inilah kondisi riil kehidupan negara kita. Sebuah kondisi yang menuntut perubahan. Rakyat sebenarnya tidak akan terlalu pusing dengan gaya hidup elitnya, asalkan kehidupan mereka sebagai rakyat dalam keadaan sejahtera. Sebab. Pembangunan negara ini tujuannya tidak hanya untuk kesejahteraan para elit, melainkan juga untuk rakyat atau untuk semua yang menghuni negara ini. Karena, kemerdekaan negara ini, tidak hanya diperjuangkan oleh satu golongan saja, melainkan semua.

Akhirnya memang, rakyat harus bisa berbuat sesuatu. Bentuk partisipasi rakyat dalam membangun negara ini, tidak hanya soal mengiyakan apa yang diperintahkan oleh elitnya, melainkan juga mengatakan tidak pada kebijakan-kebijakan elit yang sudah menyimpang dari tujuan bernegara. Kondisi yang memprihatinkan seperti ini memang menuntut niat baik dari elit untuk menjadikan rakyat sebagai fokus pembangunan, dan rakyat harus bangkit dengan kecerdasan, kekuatan tenaga dan persatuannya untuk ikut secara aktif dalam partisipasi politiknya untuk suatu perubahan.

Keterlibatan Rakyat dalam Usaha Penegakan Hukum

Mapalus Senin 27 Agustus 2007

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulut, Sugiharto Reksopertomo SH MH tampaknya gerah dengan sorotan terhadap kinerja anak buahnya. Lewat Kasi Penkum dan Humas, Reinhard Tololiu SH, Kajati menekankan masyarakat tak perlu segan untuk mempersoalkan bila ada jaksa yang diduga melakukan kecurangan. Tak hanya itu, Kajati bahkan mempersilahkan masyarakat untuk menjebaknya.

Tololiu seperti dilansir salah satu media local mengatakan, selama ini banyak kritikan yang muncul terkait kinerja para jaksa. Kritikan ini menurutnya mereka terima tetapi dia minta untuk disampaikan dengan santun, tak hanya menuduh tanpa bukti cukup.

Dikatakan Tololiu, sekalipun demikian ada sejumlah oknum yang sering berbohong dan main tuding saja. Tapi selama itu pula Kejati menahan diri atas tuduhan-tuduhan yang tidak memiliki dasar dan bukti itu.

Masyarakat atau juga rakyat, hanya sering dijadikan sebagai objek, bukan sebagai subjek penegakan hukum. Di tahun-tahun sebelumnya, dan bahkan masih terlihat hingga sekarang, di Negara ini hukum seolah-olah hanya milik penguasa dan pemilik modal. Rakyat kecil, selalu diidentikan dengan rakyat yang katanya Negara rawan melanggar hukum. Sehingga jangan heran kalau vonis untuk seorang seorang pencuri ayam masih lebih berat di banding seorang pejabat yang mengkorupsi uang Negara miliaran rupiah. Ini menggambarkan secara sinis, betapa hukum hanya milik para penguasa dan pemilik modal.

Kini paradigma harus dirobah. Dalam rangkah supremasi hukum, maka rakyat harusla diperlakukan sebagai subjek dalam usaha penegakan hukum Rakyat jangan lagi diperlakukan sebagai objek hukum, atau kelompok orang yang selalu diawasi, melainkan juga subjek yang mestinya bermitra dengan instrumen negara untuk itu, seperti polisi dan kejaksaan.

Ada harapan baik ketika Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulut, Sugiharto Reksopertomo SH MH menyampaikan keterbukaanya untuk melibatkan juga rakyat dalam usaha penegakan hukum. Semua tahu bahwa polisi atau dan para jaksa juga adalah manusia. Mereka sama dengan manusia kebanyakan, masih punya mata, mulut, perut dan lain sebagainya seperti yang dimiliki oleh para preman kampungan sampai kelas kakap. Mereka punya ambisi dan hasrat. Sehingga mereka juga bisa melakukan sama dengan apa yang dilakukan oleh koruptor dan penjahat lainnya.

Sehingga sangat tepatlah kalau kemudian untuk usaha penegakan hukum ini, rakyat dilibatkan dalam usaha mengawasi dan mengontrol secara aktif kemungkinan pengkhianatan pada profesionalisme kerja yang dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam grada terdepan dalam menjadikan hukum di Indonesia untuk pendisiplinan, penjerahan, pertobatan dan pemanusiaan kembali manusia yang telah terjebak di kehidupan gelap. Harapan kita, hukum di Indonesia tidak lagi dalam rangka membinasakan melainkan untuk pembaharuan. Semoga saja.

Penertiban yang Harus Adil

Mapalus 30 Juli 2007

Pihak management triple Murah-murah Mart atau Tripel M sebuah swalayan di Kota Tomohon akhirnya melaporkan pemerintah kota kepada aparat kepolisian. Ini lakukan menyusul ketidakpuasan dari pihak Manajemen Tripel M atas kebijakan pemkot tomohon yang mengeksekusi atau membongkar paksa sejumlah bangunan semi permanent milik swalayn itu.

Pihak Pemerintah kota melalui kepala Kesbangpol Drs Wendy Karwur, mengatakan eksekusi tersebut mengacuh pada Peraturan walikota nomor 6 tahun 2007 tentang ketertiban. Alasan pemkot tomohon membongkar sejumlah bagunan tersebut adalah karena pihak manajemen tripel M belum mengantongi ijin mendirikan bangunan atau IMB. Memang pemilik trpel M, Marten Manopo kepada wartawan mengakui kalau pihak manajemennnya masih sementara mengurus IMB. Ia pun mengakui kalau ini adalah kelalaian manajemennya.

Tapi ini kemudian berbuntut panjang menyusul ada data yang menyebutkan bahwa sebagian besar bangunan di Kota Bunga ini belum memiliki IMB, termasuk milik pejabat eksekutif dan legislatif, juga swasta. Wakil Ketua Dewan Kota Tomohon Ir. Miky Wenur mengatakan bahwa sekitar 90 persen bangunan di Kota Tomohon belum memiliki IMB. Sehingga dia mengatakan mestinya pemkot melakukan lagi sosialisasi, dan kalaupun harus ada penertiban, mestinnya mengikuti mekanisme yang berlaku. Pengamat investasi yang juga anggota dewan kota Tomohon, Johny Sumolang mengatakan penertiban seperti ini bisa mempengaruhi iklim investasi di Kota Tomohon.

Soal banyaknya bangunan yang belum memiliki IMB di Kota ini, juga dibenarkan oleh Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Ketertiban Umum Kota Tomohon, Drs Wendy Karwur. Ketika dikonfirmasi wartawan dia mengatakan bahwa data yang ada pada pihaknya tercatat sebagian besar bangunan rumah milik pejabat di Pemkot Tomohon tak ber-IMB. Bahkan sebagian besar bangunan rumah milik anggota DPRD Kota Tomohon juga mengantongi IMB.

Sikap tegas pemerintah dalam usahanya membuat kota menjadi indah dan tertib, memang mutlak harus didukung. Tapi, persoalan yang mestinya diperhatikan adalah aspek keadilannya. Apakah adil, ketika pihak pemerintah buru-buru melakukan eksekusi terhadap sebuah lokasi bangunan milik satu orang, sementara yang lebih banyak lagi dibiarkan begitu saja. Ini bisa menimbulkan pertanyaan soal motivasi di balik kebijakan yang terkesan buru-buru itu. Kecurigaan bisa mengarah pada soal adanya sentimen politik.

Kalau begitu untuk apa ada peraturan ini dan itu dibuat? Apakah hanya untuk kepentingan satu dua orang atau memang untuk disiplin dan ketertiban bersama, warga, pejabat serta pengusaha? Mestinya, perwako, perda dan apapun namanya peraturan yang dibuat pemerintah daerah, pertama-tama bukan hanya soal retribusi dalam rangka mengejar PAD, popularitas top eksekutifnya apalagi kalau dipicu oleh sentimen politik. Pertama-tama dan utama tujuan dibuatnya semua kebijakan itu adalah untuk ketertiban, disiplin, keindahan yang tujuan paling akhirnya adalah kesejahteraan bersama. Ini akan tercapai, kalau peraturan yang dibuat memperhatikan aspek keadilan sosialnya.

Pemerintah hadir sebenanrya bukan untuk merugikan atau membuat menderita warganya. Pemerintah mestinya adalah pihak yang memberdayakan, melindungi, memperkuat kualitas hidup dan mengatur persaingan-persaingan yang muncul agar tidak terjadi konflik. Memang pemerintah dilengkapi dengan kekuasaan, tapi kekuasaanya tidak absolut, sebab, kekuasaan itu tidak turun begitu saja dari langit. Kekuasaan negara atau pemerintah adalah milik rakyat yang dititipkan kepada mereka untuk mengatur kehidupan bernegara dalam usaha mencapai tujuan hidup bersama yang sejahtera. Begitulah sehingga, penertiban harus adil!!!