Minggu, 04 November 2007

Kota yang Menggoda

Mapalus 3 Agustus 2007

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa tahun 2007 ini Sulut mengkoleksi 250,1 ribu orang miskin. Jumlah itu adalah 11,42 persen dari total penduduk Sulut yang berjumlah 2.186.810 orang.

Menurut Jasa Bangung Kepala BPS Sulut, Drs Jasa Bangun jumlah orang miskin di Sulut justru naik, berbeda nasional yang justru mengalami penurunan. Jumlah penduduk miskin tahun ini bertambah 17,5 ribu dibanding tahun 2006 yang ‘hanya’ 232,6 ribu orang. Menurut Jasa Bangun, peningkatan orang miskin ini disebabkan karena banyaknya penduduk yang datang ke kota mencari pekerjaan. Buktinya katanya, angka kemiskinan tersebut lebih banyak dari daerah perkotaan, sementara di daerah pedesaan justru berkurang.

Jasa Bangun menambah-kan, besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis kemiskinan, karena penduduk miskin adalah yang memiliki pengeluaran rata-rata di bawah garis kemiskinan. Semakin tinggi garis kemiskinan, maka akan semakin banyak penduduk yang tergolong miskin. Penduduk miskin sendiri, kata Bangun, dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yakni miskin kronis (chronic poor) dan miskin sementara (tran-sient poor).

Mendengar jumlah orang miskin di negeri kaya ini sudah biasa. Tapi menariknya, di Sulut, juga barangkali terjadi di daerah lain, jumlah orang miskin justru yang banyak di daerah perkotaan. Urbanisasi mengakibatkan meledaknya penduduk kota. Kalau kita bicara daerah kita, ini kemudian mempertanyakan keberadaan mall-mall yang berdiri kokoh dan menjulang tinggi ke udara di Boulevard yang oleh pemerintah katanya dapat meraup tenaga kerja yang banyak. Angka statistik BPS membuktikan kalau itu tidak seratus persen benar.

Kota memang menggoda orang untuk melakukan perpindahan. Padahal, yang kaya sebenarnya bukan di kota, melainkan di desa. Di desa, sumber daya alamnya masih banyak, persaingan pun belum terlalu ketat, kecuali memang masih kurangnya perhatian pemerintah dalam memberdayakan segala yang apa ada di desa. Berbeda di desa, berekonomi di kota tidak lagi manusiawi. Ada kualitas ada uang. Ada uang ada lahan berbisnis. Persaingan di kota memang akhirnya menundukkan. Para PKL yang coba bertahan hidup, itu karena adanya persatuan di kalangan PKL.

Kota memang menggoda. Tapi lebih daripada itu ini sebenarnya sangat terkait dengan seperti apa orang memaknai kerja itu. Kerja pada akhirnya hanya seolah-olah kalau berseragam kantoran. Kalau memikul cangkul dan mengerjakan pekerjaan kerajinan tangan seolah-olah tidak lagi dianggap kerja. Ini soal etos kerja orang yang kebanyakan sudah bergeser. Kota dengan segala tawaran kegemerlapan hidupnya, akhirnya membuat orang menjadi lebih miskin daripada berkembang dan survive.

Padahal, harapan hidup sebenarnya lebih bisa diandalkan di desa dari pada kota. Cuma persoalannya, kita kemudian hampir kehabisan akal untuk mengolah segala sumber daya lahan, sawah dan hutan kita. Ini diperparah dengan kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak menyentuh sampai pada warga di pedesaaan. Berikut lagi ketidakadilan pembangunan adalah faktor penting yang membuat kondisi menjadi sulit begini.

Harapan hidup di desa akan selalu ada, kalau kita menemukan lagi etos kerja mapalus kita sebagai tou minahasa, kemudian pembangunan infrastruktur jalan, fasilitas pelayanan kesehatan yang menjangkau sampai ke pelosok dan terpenting lagi adalah gedung sekolah yang representatif yang didukung oleh kualitas tenaga pengajar yang baik. Persoalan utamanya adalah keadilan sosial yang harus dijamin oleh negara kepada rakyatnya....