Mapalus 23 Agustus 2007
Di Jakarta konversi minyak tanah ke gas elpiji menuai protes. Kemairn lebih dari 2.000 pengunjuk rasa berdemo di depan Istana Merdeka, Rabu (22/8), memprotes konversi minyak tanah ke gas elpiji. Para pengunjuk rasa yang tergabung dalam Forum Masyarakat Pengguna Minyak Tanah menolak konversi minyak tanah ke gas. Alasannya, harga gas lebih mahal dibandingkan dengan minyak tanah dan kondisi masyarakat yang masih jauh dari kesejahteraan.
Mereka menilai, alasan konversi minyak tanah ke gas adalah mengada-ada. Menurut mereka, itu adalah permainan ekonomi politik tingkat tinggi, yaitu para koruptor yang ada di pemerintahan dan para jajaran Pertamina yang inggin mengeruk kekayaan pribadi di atas penderitaan rakyat.
Kabarnya, setelah Jakarta, kebijakan ini akan kemudian dilanjutkan ke seluruh daerah, termasuk kita di Sulut. Jadi, kalau sekarang ini, pemakaian gas elpiji masih kalangan tertentu, ketika itu itu diterapkan di daerah kita, maka sampai ke pelosok kita bakal melihat kompor-kompor gas, bukan lagi kompor minyak tanah. Ya, ini memang akan terjadi, karena ketika minyak tanah di konversi ke gas elpiji, maka yang akan dijual umum adalah gas elpiji bukan lagi minyak tanah. Kalau sekarang meski kadang-kadang langkah atau harus mengantre, minyak tanah masih merupakan kebutuhan yang selalu diusahakan ada oleh pemerintah.
Meski diprotes, Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Persero Ari Sumarno mengatakan, program konversi bahan bakar minyak tanah ke gas elpiji akan terus dilanjutkan karena lebih murah dan efisien. Konversi juga membantu pemerintah dalam mengurangi beban subsidi yang amat besar.
Warga di daerah kita yangh sudah biasa menggunakan bahan bakar minyak tanah, juga banyak yang sedikit merasa was-was. Dari sisi ekonomis, masyarakat merasa sulit menggantikan Minyak tanah dengan gas dalam kemasan tabung. Sebab selain gas masih berharga lebih mahal dari minyak, ada juga yang menyoalkan fak-tor keamanan penggunaan gas.
Karena, gas elpiji kalau beli 3 kilo gram harganya Rp 15 ribu sementara pemakaiannya hanya untuk satu minggu. Kalau minyak tanah uang sebanyak itu bisa untuk dipakai dua minggu. Gas elpiji juga berbeda dengan minyak tanah yang bisa dibeli ecer satu liter atau dua liter sesuai dengan ketersedian keuangan. Jadi kalau ada keluarga miskin yang penghasilannya Rp. 20 ribu per hari, maka untuk membeli 3 kilogram gas elpiji, ia harus merelakan uang Rp. 15 ribunya. Sisa di tangan tinggal 5 ribu rupiah untuk satu liter beras tanpa makan ikan.
Pengamat ekonomi kemasyarakatan daerah ini, Jack Parera, secara gamblang mengatakan, dalam upaya sosialisasi penggunaan gas, pemerintah harus berani menjamin ke masyarakat bahwa penggunaannya benar-benar aman.
Pihak Pertamina Cabang Manado menjelaskan, penerapan konversi minyak tanah ke gas elpiji masih dalam tahap kajian.
Sementara itu, Karo Perekonomian Pemprov Sulut, Luther Liwoso SE mengatakan program pemerintah pusat sudah seharusnya diterapkan oleh setiap daerah. Alasannya, apa yang sudah diprogramkan pemerintah tersebut sudah diperhitungkan dengan secara matang akan resiko yang akan diambil.
Konversi minyak tanah ke gas elpiji, memang ada untung ruginya. Tapi, baginya rakyat barangkali yang terpenting bahwa mereka masih bisa dapat menjangkaunya. Minyak tanah memang sudah membikin pusing, tapi rakyat miskin masih dapat menjangkaunya. Gas elpiji, memang belum banyak dicoba orang kita. Tapi, apakah minyak tanah atau gas elpiji, yang terpenting sebenarnya bagaimana pemerintah berhasil meningkatkan daya be;li rakyay dengan kebijakan-kebijakan ekonominya yang berpihak kepada rakyat. Kalau begini keadaanya, barangkali rakyat masih akan memilih minyak tanah yang dapat dibeli ecer daripada gas elpiji. Bagaimana menurut anda, tetap minyak tanah atau beralih ke gas elpiji saja???.............