Simpatisan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Abepura, Jayapura, mengibarkan bendera Bintang Kejora. Aksi itu untuk memperingati hari ulang tahun OPM yang jatuh pada hari ini, Minggu (1/7). Para pelaku pengibaran, kini, ditahan oleh petugas keamanan Lapas Abepura untuk dimintai pertanggung-jawaban.
Pengibaran bendera OPM dilakukan oleh narapidana politik (napol) maupun tahanan politik (tapol), di antaranya Yusak Pakage dan Filep Karma. Yusak dan Filep pernah pula mengibarkan bendera OPM pada 1 Desember 2005. Kali ini, keduanya mengibarkan bendera OPM di atas atap Lapas Abepura yang diikuti tapol dan napol lainnya. Namun, peristiwa tersebut tidak berlangsung lama. Aparat keamanan lapas segera memerintahkan penghentian pengibaran bendera///)
Sebelumnya pada Jumat akhir pecan lalu, Puluhan anggota RMS menyusup dengan berpura-pura sebagai penari dalam acara peringatan Hari Keluarga Nasional. Mereka sempat maju hingga jarak 10 meter dari tempat Presiden dengan membawa tombak yang menjadi perlengkapan tarian. Namun mereka gagal mengibarkan bendera RMS karena keburu diambil petugas. Peristiwa ini memang mengejutkan pemerintah kita. Betapa tidak ini bukan hanya menjadi pukulan berat bagi system keamanan, tapi tampilnya lagi kelompok RMS di depan public dan bahkan di depan Presiden SBY adalah bukti bahwa Indonesia masih berhadapan dengan kelompok-kelompok militant yang mempertanyakan kekuasaan Negara ini.
Kenapa harus ada RMS, OPM, bahkan dulu ada Gerakan Aceh Merdeka? Sejarah Indonesia memang marak dengan apa yang disebut oleh pemerintah sebagai gerakan separatis. Hampir semua Negara ada kelompok-kelompok semacam itu. Tapi dalam konteks Indonesia ini membuktikan bahwa model, system dan paradigma menjadi Indonesia belum tuntas. Nasionalisme pun yang selalu diwacanakan Negara dipertanyakan. Proses bernegara dan mengindonesia kita ternyata belum final. Letupan-letupan protes kelompok-kelompok semacam itu, barangkali adalah juga interupsi-interupsi terhadap model kekuasaan elit kita yang cenderung menjadi mutlak. Ini juga jadi tanda bahwa demokrasi di Indonesia belum benar-benar demokratis.
Perimbangan keuangan yang belum adil, serta pengelohaan sumber daya alam yang masih terpusat, politik yang masih sentralistik yang sehingga menyebabkan kemiskinan dan ketertinggalan, adalah sasaran dari protes-protes sekelompok orang daerah itu. Di Minahasa dulu, ada gerakan protes yang menggemparkan dunia, permesta! Tapi permesta hadir dengan kecerdasannya mempertanyakan model pemerintahan yang sentralisme. Yang mereka tuntut adalah hak untuk hidup sejahtera.
Barangkali, secara implicit gerakan-gerakan protes seperti OPM dan RMS yang masih hidup hingga sekarang, adalah juga tantangan buat pemerintah kita untuk lebih melihat Indonesia ini bukan hanya Jakarta, tapi wilayah territorial, dari sabang sampai merauke yang terdiri dari beribu-ribu karakter budaya, suku dan ras. Indonesia adalah keberagaman. Kalau itu dimatikan dengan model pemerintahan yang sentralistik, maka jadinya adalah konflik dan kekacauan. Mudah-mudahan, pemerintah kita segera sadar dengan keadaan yang mengancam ini